Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
- Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
- Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
- Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
- Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
- Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.
- Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.
Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah ‘efek ganda’. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah ‘efek ganda’ menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja.
Argumen Pro Euthanasia
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Oposisi terhadap Euthanasia
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
Disadur dari:
Wellcome Trust. 2004. Disability & Bioethics Resource Pack. Euthanasia. V1.0
Referensi tambahan:
Wellcome Trust. 2004. Disability & Bioethics Resource Pack. Euthanasia. V1.0
Referensi tambahan:
- Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
- Karo-Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
- Situs web Riset Euthanasia. http://www.euthanasia.com/
- Situs web Peter Singer. http://www.princeton.edu/~psinger/
Ustadz Setiawan Budi Utomo yang diberkati Allah SWT. Saya perlu menanyakan tentang masalah yang saya alami berkaitan fikih kontemporer, yaitu ketika ayah saya sakit kemudian beliau mengalami penurunan kondisi panca indra sehingga untuk melakukan kewajiban (misalnya sholat fardhu) sangat susah, bahkan untuk mengingat waktu sholat, atau mendengar adzan.
Nah bagaimanakah hukumnya untuk ayah saya yang sakit tersebut? Saya atau penjaga yang lain hanya membisikan ke telinga ayah untuk melaksanakan sholat, itu saja yang saya bisa. Kemudian ketika dokter memutuskan bahwa ayah saya tidak tertolong lagi, ia menyarankan untuk membuka/mencopot semua alat bantu hidup (seperti infus, tabung pernafasan dsb) dalam istilah kedokteran dinamakan euthanasia.
Bagaimanakah hukumnya dalam Islam praktik euthanasia tersebut? Demikian pertanyaan dari saya, terimakasih atas kesediaan Ustadz menjawab masalah saya.
Wasalamualaikum Wr. Wb.
Fakhroji
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saran dokter yang Saudara terima dalam memperlakukan orang yang sakit dalam kondisi tersebut menurut ilmu kedokteran memang popular disebut euthanasia (qatl ar-rahma atau taisir al-maut) ialah tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit.
Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49).
Dengan demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu, euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.
Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam euthanasia pasif, yaitu upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
Beberapa contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
- Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiaannya.
- Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
Beberapa contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
- Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
- Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.
Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.
Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut.
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.
Wallahu A’lam wa Billahit Taufiq wal Hidayah
Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya.
Pembahasan
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan?
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya ‘hak untuk mati’.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
- Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan?
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya ‘hak untuk mati’.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
- Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Aspek Hak Azasi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan.
Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
Halo, ini adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat umum, tentang penipuan pinjaman internet, itu benar-benar menyebabkan banyak kerusakan dan telah membawa beberapa keluarga dalam pemisahan dan penderitaan. Kami benar-benar berjuang untuk membawa para pelaku ke buku. Namun akan membutuhkan bantuan Anda, karena tanpa bantuan Anda, kami tidak bisa mengakhiri penipuan internet ini. Apa yang kita inginkan dari Anda sekarang adalah bagi Anda untuk mengisi formulir di bawah ini tepat.
BalasHapusNama Perusahaan: .............................................
Perusahaan Usulan Alamat: ........................
Perusahaan Alamat Email: ................................
Jumlah Total Dibayar: .............................................
Penerimaan Scan: ............................................... ......
Nama Penerima: ............................................
Cara Pembayaran: ..............................................
Catatan: Informasi ini adalah bagi mereka yang telah menjadi korban oleh warga Nigeria yang berpura-pura menjadi pemberi pinjaman kredit sedangkan mereka tidak. Jadi Polisi Nigeria dan EFCC bekerja begitu keras untuk memastikan kejahatan ini dibawa ke berhenti. Jika Anda cukup beruntung uang Anda menghabiskan mungkin dikembalikan kembali kepada Anda.
Di sini kita hanya memiliki dua kreditur yang kredibel baik lokal maupun internasional, jika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman kita bisa juga memberikan arahan yang lebih baik dan menyarankan untuk membimbing Anda dalam mendapatkan yang lebih baik dan transaksi transparan. Anda dapat menghubungi kami: nigerian.policeforce247@gmail.com
interpol.hotmail247@gmail.com.