Jakarta Tv One
Penyelesaian kasus malpraktek RS. Siloam International yang menimpa Alfonsus Budi Susant tak kunjung usai, meskipun sudah lebih dari enam bulan bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kuasa hukum AB.Susanto, Didit Wijayanto menilai proses peradilan terhadap kasus malpraktek tersebut berlangsung lambat dan terdapat banyak ketidaksesuaian.
Gugatan sudah dilakukan sejak Juli 2009, namun hingga saat ini belum juga selesai karena banyak pelaksanaannya yang tidak sesuai, jelas Didit, di Jakarta, Kamis.
Didit menjelaskan dalam beberapa sidang sering terjadi keterlambatan dari pihak kuasa hukum tergugat yang menyebabkan saksi yang dihadirkan penggugat tidak dapat menunggu dan berdampak pada dibatalkannya sidang.
Bahkan, tambah Didit, dalam sidang terakhir Selasa (9/2) terjadi ketidaksesuaian hukum acara. Seharusnya saksi dari penggugat diselesaikan seluruhnya terlebih dahulu, tetapi kemarin justru dihadirkan saksi dari pihak tergugat,? ujar Didit.
Selain terdapat ketidaksesuaian dalam proses peradilan, Didit menilai ahli yang dihadirkan untuk memberikan keterangan tidak independen. Kedua ahli yang dihadirkan, yaitu Prof. Dr. Padmo Satjojo dan Veronika Komda. "Saksi menjelaskan bagaimana injeksi cemen tersebut seharusnya dilakukan, namun ia menjelaskannya dihubungkan dengan kondisi pasien," jelas Didit.
Menurutnya, ahli hanya berkompeten memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya, bukan menambahkannya dengan informasi lain atau pun melakukan pembelaan.
Hingga saat ini sudah dilaksanakan 16 persidangan untuk menghadirkan saksi dan ahli. AB.Susanto berharap kasus ini dapat bisa segera selesai. "Saya berharap kasus ini bisa cepat selesai karena ini bukan hanya masalah saya, tetapi menyangkut hak pasien dan konsumen Indonesia," jelas
Kasus ini bermula pada oktober 2005 ABS mengeluh sakit pada punggungnya dan berobat di RS. Siloam Internasional di Karawaci, Tanggeran. Berbagai pemeriksaan, seperti MRI pun dilakukan.
Kemudian dokter syaraf, Dr. Eka Julianta W yang memeriksannya menyarankan untuk dilakukan ?injeksi cement?, yaitu menyuntikan kandungan tulang ke dalam tulang. Namun, yang terjadi adalah terjadi kegagalan dalam operasi tersebut.
"Setelah operasi saya sadar saya tidak bisa menggerakan tubuh kiri saya, dan ternyata yang melakukan suntikan tersebut bukan dokter Eka, tetapi asistennya dokter Juli," jelas
AB.Susanto mengatakan, pihak rumah sakit atau pun dokter tidak memberitahukan sebelumnya bahwa ada pergantian dokter, padahal sebelum operasi dimulai dokter eka masih ada.
Alasannya dokter Eka pergi. Padahal selama ini dia yang merawat, tetapi tiba-tiba dialihkan begitu saja ke asisten,?ujar ABS
Selain itu, Didit mengatakan dokter tidak memberitahukan resiko kegagalan suntik injeksi ini. "Pasien kan berhak tau segala kemungkinan yang bisa menimpanya. Ini pelanggaran hak konsumen," jelas Didit.
Bahkan, ia menambahkan pasien kesulitan mendapatkan rekam medis dari rumah sakit dengan alasan isi rekam medis tersebut milik rumah sakit dan tidak boleh dibawa keluar.
Kini, AB.Susanto harus berjalan dengan tongkat karena kaki kirinya lumpuh. Selain itu, pinggang kirinya sering sekali kram dan kaki kanan sering terasa terbakar. "Menurut dokter daya mengalami `brown sequard syndrome` semacam trauma dibagian tulang belakang," jelas abs.
Akibat malpraktik ini AB.Susanto mengalami banyak kerugian, ia tak lagi seproduktif dulu karena terhambat geraknya dan harus rutin melakukan terapi. "Saya sekarang lima kali seminngu terapi otot kaki agar sensor motoriknya bisa kembali dan otot tidak menjadi kecil," ujar AB.Susanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar